Dulu kami memulai hanya dengan memutar lagu-lagu yang kami cintai. Tak ada niat besar, tak ada rencana panjang. Hanya ada rasa suka yang tak bisa diam, terhadap bunyi-bunyi dari masa lalu yang hangat dan jujur. Kami bukan siapa-siapa saat itu—dua orang yang ingin menjaga kenangan tetap terdengar. Dari satu set ke set lain, dari ruang kecil ke panggung yang perlahan membesar, Diskoria tumbuh bukan karena strategi, tapi karena cinta yang pelan-pelan menemukan jalannya sendiri.
Tapi waktu berjalan, dan kami pun berubah. Kami mulai merasa bahwa hanya memutar lagu-lagu orang lain tidak lagi cukup. Ada sesuatu dalam diri kami yang ingin bicara—bukan hanya lewat pilihan lagu, tapi lewat karya sendiri. Kami ingin menyampaikan apa yang selama ini hanya kami simpan. Tentang perjalanan, tentang kampung halaman, tentang rasa kehilangan, juga tentang kegembiraan yang sederhana.
Tahun ini, setelah sepuluh tahun berjalan, kami merasa waktunya tiba. Kami tak lagi hanya memutar. Kini kami menyuarakan.
Kami membentuk Diskoria sebagai band. Menjadi format baru bukan hanya soal teknis. Ini soal bagaimana kami ingin hadir secara utuh di atas panggung. Ingin lagu-lagu kami tidak hanya lahir dari ruang studio, tapi juga hidup di ruang bersama. Bersama Panji, Rai, Daiva, dan Aad, kami menulis, menyusun, dan membunyikan ulang diri kami. Rasanya seperti membuka rumah dan mengisinya kembali dengan cerita baru—masih dengan semangat yang sama, tapi kini lebih jujur, lebih terasa.
Perjalanan menciptakan album ini bukan sekadar soal produksi. Ini tentang belajar mendengar satu sama lain. Tentang mengatur ulang ekspektasi, menyeimbangkan visi, menyamakan irama dari banyak kepala yang tumbuh di waktu berbeda. Di titik tertentu, kami menyadari bahwa yang kami bangun bukan sekadar band. Tapi ruang pulang. Tempat kami bisa menaruh cerita, keraguan, dan harapan—semua dalam bentuk bunyi.
Dan saat kami mencari nama untuk semua ini, semesta seperti memberi isyarat.
Waktu itu kami diundang tampil di Frankfurt, dalam sebuah acara yang diberi nama Indonesia. Setelah tampil, kami duduk dan berbincang. Ternyata, nama itu bukan cuma menyebut negara. Kata Indonesia, dalam konteks acara itu, diambil dari arti tone, atau nada. Itu menggugah kami. Seolah menjawab perasaan yang sudah lama ada, tapi belum sempat terucap. Bahwa bagi kami, Indonesia bukan sekadar lokasi. Ia adalah nada. Ia adalah bunyi. Ia adalah rasa pulang.
Kami minta izin kepada penyelenggara untuk menggunakan nama itu sebagai judul album kami. Mereka mengizinkan.
Dan sejak saat itu, Indonesia menjadi tajuk yang bukan hanya merepresentasikan isi albumnya, tapi juga perjalanan kami secara utuh. Karena selama ini, semua lagu yang kami buat, semua kolaborasi yang kami jalani, semuanya datang dari rasa ingin kembali—entah ke suasana lama, ke kehangatan rumah, atau ke versi diri yang paling jujur.
Di album ini, kami membuka ruang untuk banyak suara. Beberapa lagu datang dari ide kami sendiri, beberapa lahir dari pertemuan dengan mereka yang selama ini diam-diam kami kagumi. Kami mengajak banyak kolaborator. Tidak semua musisi profesional. Ada yang tidak dikenal sebagai penyanyi. Tapi bagi kami, semua yang terlibat menyumbang rasa, bukan hanya suara.
Kami tidak membatasi diri pada satu genre. Buat kami, disko di Indonesia bukan soal tempo atau style—ia soal aktivitas. Dulu orang bilang “mau ke disko,” bukan “mau dengar musik disko.” Karena disko adalah ajakan untuk hadir, berdansa, menikmati, melebur. Entah itu lewat soul, funk, pop, bahkan jazz dan R&B. Maka dari awal, Diskoria bukan nama genre. Ia adalah gerak. Dan album Indonesia adalah bentuk paling utuh dari gerak itu.
Kami sadar, mungkin tidak semua orang akan langsung terhubung dengan semua lagu di album ini. Tapi itu bukan tujuan kami. Kami menciptakan album ini dari rumah, untuk mereka yang selalu kembali. Untuk yang pernah merasa kehilangan arah. Untuk yang ingin mendengar sesuatu yang familiar tapi baru. Untuk yang butuh suara yang terasa seperti teman lama.
Dan juga, untuk diri kami sendiri. Yang akhirnya bisa berkata: “Ini suara kami. Ini cerita kami. Ini cara kami pulang.”
Diskoria, 2025