Sejak pertama kali menyentuh musik, musik mengajarkanku bahwa hal terpenting dalam hidup tak selalu tentang tujuan tetapi juga perjalanannya. Aku kira, kalimat itu sudah paling pas merangkum apa yang sedang aku jalani hari ini. Kadang aku masih suka menoleh ke belakang, membayangkan lagi sofa bed di apartemen sempit nomor 19-31—tempat segalanya bermula.

Sofa bed itu sederhana: kalau dibentang, jadi kasur buat beristirahat di malam-malam panjang. Kalau dilipat, jadi tempat rapat, brainstorming, tempat aku menulis lirik-lirik yang tak pernah kubayangkan bisa didengar orang lain. Di pojoknya ada meja kecil. Di situlah kata-kata lahir, bersama segala keyakinan dan keraguan.

Aku tidak pernah benar-benar bercita-cita jadi musisi solo. Bahkan sejak awal, Und Bodevan bukan cuma aku. Nama itu lahir sebagai duo: Zaja Und Bodevan. Tandemku di vokal dan saksofon waktu itu memilih jalannya sendiri, beralih ke dunia entrepreneur. Tiba-tiba aku harus berjalan sendiri. Tapi mungkin memang harus begitu. Semua harus lewat sini.

Belum berubah sampai sekarang. Dari lulusan teknik mesin, ke petugas offshore, ke account executive di televisi—banyak persimpangan kulalui, tapi musik selalu jadi tujuan dalam hidupku. Sekarang aku tahu, tujuan itu pun bisa berubah bentuk. Bisa bermutasi jadi sekadar dorongan untuk jujur pada diri sendiri.

Aku ingat betul bagaimana Palembang membentukku. Masa SMA, salah satu teman pertamaku di dunia musik adalah Prana, anak band yang awalnya teman main graffiti. Sebelum instrumen, aku jatuh cinta pada mural, cat semprot, tembok-tembok kota. Tapi Prana main bass, dan entah bagaimana aku tertarik. Waktu band sekolahnya butuh pengganti, aku yang masih canggung diajak naik panggung.

“Lo malah bisa lebih bagus daripada gue,” kata Prana, di sudut kelas, sambil tersenyum. Kata-kata sederhana itu, kalau kupikir sekarang, yang membuatku percaya bahwa aku boleh gagal. Bahwa mencoba berarti membuka ruang baru. Kalau saja waktu itu dia tidak menepuk pundakku, mungkin aku tak pernah berani memegang senar dan melanjutkan project Und Bodevan, atau mungkin aku masih tetap asyik menghabiskan waktu menghiasi barisan dinding-dinding sudut kota. Buat sebagian orang, mengejar mimpi mungkin terasa buang-buang waktu, tapi aku percaya tak ada yang sia-sia. Semua hal yang terjadi dalam hidupku jadi bekal berharga menuju tujuan. Begitu aku selalu memaknainya.

Dulu aku pikir, cukup lulus kuliah, dapat kerja bagus, punya penghasilan tetap, lalu hidup akan terasa aman. Aku sempat mencicipi jalur itu: bekerja sebagai welding engineer di Batam, memeriksa sambungan baja di tengah laut. Tapi jiwa ini tak bisa diam di sana. Tidak ada cerita yang bisa kuceritakan kembali. Tidak ada panggung untuk rasa ingin tahuku. Maka kutinggalkan seragam safety dan helm proyek, lompat ke Jakarta, menukar bau laut dengan bisingnya iklan.

Awalnya kupikir, “Ah, masuk industri kreatif!” Nyatanya, aku malah jadi account executive di TV, menjual slot iklan, berkejaran dengan angka. Setahun kemudian pindah ke digital agency, belajar tentang branding manusia. Itu lucu kalau dipikir sekarang: bagaimana aku belajar merancang identitas orang lain, padahal identitasku sendiri masih kabur.

Mungkin orang melihat jalan hidupku seperti serakan puzzle. Tapi semua kepingan itu yang membuatku berdiri di sini sebagai Und Bodevan. Proses itu tidak pernah sia-sia. Targetku waktu itu pun jelas: masuk label mainstream dulu, supaya paham, lalu pindah ke label rock yang lebih ‘berantakan’. Dan betul saja, setiap tempat membentuk cara pandangku: bagaimana musik bisa tetap jujur meski dibungkus cara yang berbeda-beda.

Kupikir pencapaian terhebat saat ini adalah berinteraksi dengan banyak pemikiran kreatif musisi yang berbeda-beda. Menurutku itu penting dan menyenangkan. Interaksi itu juga yang melahirkan banyak kesempatan: dua EP, tur Combo, dan The Lantis: Hosted by Und Bodevan.

Und Bodevan (Foto: Hisyam/Iramanesia)

Di sela semua percabangan itu, kamar apartemen di 19-31 adalah penanda. Lagu-lagu pertamaku sebagai Und Bodevan tumbuh di sana: tempat aku pertama kali membentangkan sofa bed, menulis di meja kayu kecil, menatap langit-langit sambil bertanya, “Apa aku akan baik-baik saja kalau jalan terus di jalur ini?”.

Everything in 1931 merekam banyak simbol. Birokrasi kantor, masalah rumah tangga, sunyi di perantauan—semuanya kutulis. Susah merangkum semuanya dalam satu lagu tiga menit, tapi aku senang bisa menitipkan simbol-simbol kecil: pintu, jendela, sofa bed, cangkir kopi dingin. Semua jadi saksi bahwa aku pernah bertarung dengan diriku sendiri di ruangan sempit itu.

Setelah EP pertama, Mencari-Menemukan lahir. Prosesnya lebih dewasa, lebih mendengar daripada bicara. Kalau dulu semua yang kutulis tentang diriku, di EP kedua aku lebih membuka mata ke sekitar. Kali ini aku bernyanyi sambil main bass lagi. Mas Rhesa Aditya (Endah N Rhesa) yang membuka jalannya. “Lo lebih ‘ganteng’ live sambil bawa bass,” katanya. Lucu, dulu bass adalah instrumen pertamaku, sempat kutinggalkan, sekarang kembali lagi seperti teman lama yang setia menunggu.

Aku percaya lagu itu hidup. Dia tau kapan lahir, kapan relevan. Kadang maknanya ikut berubah seiring perjalanan hidupku. Itu justru bikin lagu ngajak aku berpetualang lagi, lewat Und Bodevan. Dan kurasa, di situ letak keindahannya: musik jadi semacam teman perjalanan yang tak pernah menuntut, tapi juga tak pernah benar-benar diam.

Sekarang aku punya teman-teman baru: The Lantis, Biru Baru, KPR, Mentari Novel, Iconic Tourist. Semuanya punya warna berbeda. Kadang aku sengaja menabrakkan genre karena di situlah letak keseruannya. Aku nggak tertarik dengan yang seragam. Cross-genre justru memaksa kita saling belajar. Mungkin di sanalah aku merasa paling hidup: ketika bisa berdialog dengan kebiasaan-kebiasaan orang lain.

Aku ingin tetap begini. Bukan hanya jadi musisi yang memegang mikrofon di panggung, tapi juga jadi pendengar. Jadi peramu cerita. Aku ingin terus membuka ruang: ruang untuk gagal, ruang untuk berubah pikiran, ruang untuk menemukan diri sendiri lagi dan lagi.

Karena buatku, tujuan hanyalah bonus. Perjalananlah yang mendewasakan.

Kalau kau mendengarkan lagu-laguku, semoga kau juga menemukan caramu sendiri untuk berjalan. Mungkin kau tak perlu meninggalkan rumah sekecil 19-31, atau melompat dari rig pengeboran ke ruang rapat. Mungkin kau punya persimpanganmu sendiri, yang rasanya sulit dilewati. Tapi percayalah: tak ada yang benar-benar sia-sia.

Semuanya harus lewat sini.

Und Bodevan, 2025.

Shares: