Bagiku, dalam hidup pasti ada pertemuan dan perpisahan. Ada kalanya dua orang berjalan berdampingan, lalu pada titik tertentu harus memilih jalan masing-masing. Bukan karena tak saling sayang, tapi karena prioritas hidup yang berubah.
Dari situlah lahir ide Dua Dunia. Bukan tentang dua alam yang berbeda secara harfiah, namun kisah dua orang yang seharusnya bersama, tapi terpisah oleh semesta. Lewat lagu-lagunya, tersaji berbagai cerita: mulai dari perbedaan prinsip, pendapat, fase hidup, sampai pesan yang ingin kusampaikan setelah segalanya berakhir.

Sebenarnya, Dua Dunia tidak seseram yang mungkin kamu bayangkan. Kadang orang mendengar judulnya lalu berpikir ini tentang kehilangan yang kelam atau ruang yang benar-benar terpisah. Padahal, yang kumaksud sederhana: ada dua orang yang pernah saling rangkul, tapi akhirnya tercerai oleh waktu. Seperti itulah hidup. Berubah, berpisah, berputar—dan entah bagaimana, kita belajar menerima itu.
Kalau kupikir-pikir lagi, aku sendiri masih sering terjebak di antara tiga kata: mencintai, kehilangan, dan ikhlas. Buatku, ketiganya saling terhubung. Saat kamu benar-benar mencintai, melepaskan pun bisa kamu hadapi dengan sepenuh hati. Mungkin itu juga yang ingin kubagikan lewat Dua Dunia. Semacam pengingat pelan bahwa rasa sayang tidak selalu harus memiliki. Kadang, justru lebih tulus kalau dibiarkan pergi.
Aku ingat betul ketika menulis “Akhir Pekan yang Hilang”. Waktu itu aku lagi berpikir tentang hal-hal sederhana yang dulu selalu terasa menyenangkan, hiburan, main game, ngobrol sama teman, kumpul sama orang yang kamu sayang. Hal-hal remeh yang bikin akhir pekan punya arti.
Sampai suatu ketika, semua hal menyenangkan itu seperti hilang begitu saja. “No more weekend for you.” Begitulah rasanya. Semua terasa nyata dan fana. Ada yang bilang, “Belum jadian, udah putus.” Kan sialan banget ya. Tapi ternyata bisa. Kita bisa kehilangan sebelum sempat memiliki.
Lucu juga. Mungkin, dengan begitu aku bisa merayakan hal-hal kecil yang sering kita anggap remeh.
Di perjalanan bikin mini album ini, aku banyak diuji sama diriku sendiri. Dari lima lagu, ada dua yang bahkan belum selesai sampai hari rekaman. Bayangkan, hari itu aku datang ke studio tanpa reff, tanpa ide utuh. “Kaus Kaki Merah” dan “Tanya” lahir dari rasa deg-degan dan spontanitas. Aku sengaja bikin begitu, karena penasaran. Aku ingin tahu bagaimana rasanya menggenggam kegagalan kecil, lalu memaksanya jadi sesuatu di detik terakhir.
Kalau mau jujur, rintangan terberatku ya diriku sendiri. Pikiran yang bercabang, keraguan yang datang, keputusan yang ragu-ragu, semua itu menempeli prosesku. Tapi di situlah aku tumbuh. Kerentanan, kata orang, adalah bahan bakar untuk mengenali diri.Bilal Indrajaya
Aku juga nggak pernah benar-benar sendiri. Ada Lafa Pratomo di sana. Buatku, Lafa bukan hanya partner kerja. Dia gudang akor miring, perpustakaan referensi musik yang hidup. Diskusi sama dia rasanya kayak nongkrong ngalor-ngidul. Lucunya, dari obrolan-obrolan receh itu, lahirlah lagu-lagu yang kucintai.
Aku selalu percaya orang-orang di sekitar kita adalah cermin kecil. Kadang mereka memantulkan kegelisahan, kadang justru menghaluskan tepi-tepi tajam di kepala kita. Dan pada akhirnya, mereka membantu kita menemukan makna.
Salah satu lagu yang paling melekat di hati adalah “Achir Maret”. Lagu ini adalah caraku berterima kasih pada almarhum Bang Ade Paloh. Aku tidak mau membuatnya jadi ajakan bersedih. Justru sebaliknya. Ini adalah surat kangen yang kurangkai seceria mungkin.

Aku ingat betul bagaimana beliau membahagiakan banyak orang. Dari karya-karya Sore, dari obrolan di pinggir panggung, dari caranya tertawa. “Menghampar bahagia seluas mega, merindukan surga.” Lirik ini kurangkai untuknya. Karena kupikir, kalau memang beliau merindukan surga, semoga ia sedang bikin bahagia di sana, seluas-luasnya.
Aku ingin mengenangnya sebagai pribadi yang bikin orang tertawa keras, bukan meratap panjang. Jadi ya, “Achir Maret” adalah pelukan kecil yang kutulis untuk sahabat yang sudah pulang duluan.
Kadang aku merenung, kenapa aku menulis lagu-lagu ini. Kenapa harus ada lirik seperti “Kehilanganmu sebelum sempat memilikimu.” Kenapa harus ada reff yang kutulis di detik terakhir. Kenapa harus ada cinta yang tak bisa direngkuh lagi.
Mungkin karena begitulah hidup: kita harus cukup berani merasakan. Merasakan rindu yang telat, merasakan perpisahan yang nggak bisa ditawar, merasakan bahwa kehilangan tidak selalu harus dihindari. Semakin kau genggam, semakin kabur juga wujudnya.Bilal Indrajaya
Aku hanya ingin menuliskan rasa. Supaya suatu hari, saat seseorang mendengar laguku, mereka merasa ditemani. Karena kalau ada yang bisa kugaransi, itu cuma satu: setiap orang pernah merasa sendiri, kehilangan, jatuh cinta, lalu pada akhirnya belajar melepaskan. Kita hanya butuh cara untuk memeluk semua rasa itu, tanpa takut dianggap berlebihan.
Hari ini, kalau kamu bertanya, apa makna Dua Dunia bagiku? jawabannya adalah ruang. Ruang untuk berdamai, ruang untuk mengingat, ruang untuk membiarkan yang pergi tetap menjadi bagian dari cerita.Bilal Indrajaya
Aku tak tahu ke mana lagu-lagu ini akan pergi, siapa yang akan mendengar, atau kapan akan dilupakan. Tapi kalau boleh berharap, semoga di satu titik, lagu-lagu ini bisa menemanimu pada saat yang kamu butuhkan. Menjadi peluit kecil yang membisikkan: “Tenang, kamu nggak sendirian.”
Terima kasih sudah mau berjalan bersamaku di Dua Dunia. Kalau suatu hari kita terpisah, semoga semesta selalu menyiapkan pertemuan baru. Sampai akhir pekan itu tidak lagi hilang.
Bilal Indrajaya, 2025